URGENSI DAN BENTUK DASAR HUKUM (RECHTELIJKE GRONDEN) DALAM FUNDAMENTUM PETENDI
URGENSI DAN BENTUK DASAR HUKUM (RECHTELIJKE GRONDEN) DALAM FUNDAMENTUM PETENDI
Oleh : Wafda Husnul Mukhiffa, Lc
- Pendahuluan
Ketika hendak memutuskan suatu perkara perceraian, seorang hakim memerlukan pertimbangan hukum yang tepat dengan penempatan pasal-pasal yang tepat. Untuk dapat menemukan pertimbangan hukum tersebut hakim harus memeriksa dengan cermat surat gugatannya, dimulai dari memahami secara benar dan jelas uraian peristiwa yang melatarbelakangi terjadinya perselisihan atau pertengkaran dan telah tertulis dalam dalil gugatannya. 1 Hal ini tidak lain karena dalil gugatan atau posita atau yang disebut dengan Fundamentum Petendi merupakan landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara yang mana keduanya tidak boleh menyimpang dari dalil gugatan. Mengenai perumusan Fundamentum Petendi ini, terdapat dua unsur bagian : (1) bagian yang menguraikan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi disebut feitelijke gronden, (2) bagian yang menguraikan tentang hukumnya atau hubungan hukum antara penggugat dan objek yang disengketakan atau antara Penggugat dengan Tergugat berkaitan dengan objek yang disengketakan.
Hubungan hukum tersebut menjadi dasar yuridis daripada tuntutan yang disebut rechtelijke gronden.2
Di dalam praktiknya tidak ada pedoman yang baku tentang teknik pembuatan gugatan, dan ketidakadaannya tersebut disebabkan oleh dua hal, yaitu permasalahan yang menyebabkan timbulnya suatu perkara tersebut berbeda atau bervariasi, dan setiap Penggugat maupun kuasa hukum dalam menyusun redaksi gugatannya menggunakan kalimat yang berbeda. Menurut Jeremias Lemek terdapat 10 (sepuluh) prinsip pokok dalam membuat gugatan, yaitu, (1) cara berpikir distinktif, (2) dasar hukum, (3) klasifikasi hukum, (4) penguasaan hukum materiil, (5) penguasaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, (6) posita harus sinkron dengan petitum, (7) berpikir taktis, (8) ketelitian, (9) singkat padat tetapi mencakup, (10) penguasaan hukum acara perdata.3 Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak yang akan mengajukan gugatan haruslah mengetahui lebih dahulu dasar hukumnya. Gugatan yang tidak mencamtumkan dasar hukumnya sudah pasti akan ditolak oleh majelis hakim dalam persidangan karena dasar hukum inilah yang menjadi dasar putusan yang akan diambilnya. Selain itu juga untuk menghindari terjadinya perumusan gugatan yang obscuur libel (gugatan gelap) karena tidak dicantumkannya landasan hukum yang digunakan sebagai dasar gugat.4
Selama mengikuti kegiatan magang ke II Program Pelatihan Calon Hakim Terpadu di Pengadilan Agama Banjarnegara Kelas IA, penulis diwajibkan untuk melakukan observasi partisipatif atas tugastugas yang berhubungan dengan materi magang II yaitu pendamping Panitera Pengganti. Sebagai contoh ketika penulis menganalisa syarat formil surat gugatan di Pengadilan Agama Banjarnegara dimana dasar hukum yang digunakan sebagai dalil gugat pada perkara perceraian seluruhnya berbentuk pasal perundang-undangan. Sedangkan selama penulis bertugas di Pengadilan Agama Tanah grogot dasar hukum pada surat gugatan dituangkan bukan dalam bentuk pasal melainkan pernyataan yang sudah dianggap sebagai dasar hukum. Hal tersebut menginspirasi penulis untuk membahas lebih jelas tentang seberapa pentinya dasar hukum dalam fundamentum petendi serta bentuk penulisannya dalam surat gugatan. Adapun dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif yang mana dalam penyusunannya diangkat dari beberapa kajian literatur dan hasil dari laporan pelaksanaan kegiatan magang II.
Permasalahan
Secara garis besar dalam Fundamentum Petendi atau posita di anggap telah memenuhi syarat apabila didalamnya memuat dua unsur penting, dasar fakta dan dasar hukum. Membuat dasar fakta yang menjadi pokok perselisihan dan sengketa tidak begitu sulit dan dapat dibuat oleh siapa saja, tetapi merumuskan peristiwa hukum merupakan pekerjaan yang tidak mudah karena penggugat harus menyebutkan dasar hukum (rechtelijke gronden) daripada gugatannya. Apabila Penggugat yang akan mengajukan gugatannya bukan dari kalangan ahli hukum pasti akan mengalami kesulitan dalam meletakkan dasar hukumnya, oleh karena itu selain advokat sebagai praktisi hukum,
diperbantukannya Posbakum (Pos Bantuan Hukum) di Pengadilan Agama Banjaregara sangat membantu para pihak dalam merumuskan dasar hukum pada gugatannya. Adapun menurut observasi yang dilakukan oleh penulis terkait penulisan dasar hukum pada surat gugatan di wilayah kekuasaan relatif Pengadilan Agama Banjarnegara, telah ditemukan hampir seluruh dasar hukum pada perkara cerai gugat yang dibuat oleh Advokat dan Posbakum ditulis dalam bentuk pasal perundang-undangan. Sehingga pada saat itu penulis menyimpulkan sebuah pertanyaan, Apakah dasar hukum dengan bentuk pasal perundang-undangan lebih baik dari pada kebiasaan yang sudah dianggap hukum seperti yang penulis temukan ketika bertugas di Pengadilan Agama Tanah Grogot?. Oleh karena itu untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, dalam makalah ini penulis merumuskan dua masalah yang akan diangkat yaitu: 1. Bagaimana urgensi dasar hukum dalam fundamentum petendi ? 2. Apa saja bentuk dasar hukum dalam fundamentum petendi ?
B. Urgensi Dasar Hukum dalam Fundamentum Petendi
Mengenai persyaratan isi gugatan dapat dijumpai dalam Pasal 8 nomor 3 RV yang pada pokoknya suatu surat gugatan harus memuat identitas para pihak, dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan tuntutan dan tuntutan itu sendiri. Adapun alasan hukum yang menjadi dasar tuntutan dan harus termuat dalam surat gugatan seperti yang telah disebutkan, ada beberapa pendapat oleh para ahli hukum mengenai keharusan pencantumannya dalam posita. Prof. Wirjono Projodikoro dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia menyebutkan bahwa jika ada gugatan/permohonan yang hanya menyebutkan peristiwa tanpa menyebutkan alasan hukum
maka masih boleh diterima dan tidak menjadikan gugatan/permohonan tersebut obscuur libel, karena hakim pada akhirnya yang akan memperbaikinya dalam putusan.5 Pendapat yang senada juga dituliskan Dr. Drs. Mukti arto, S.H. dalam bukunya Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, pencantuman alasan yang berdasarkan hukum bukanlah merupakan suatu keharusan. Karena Hakim lah yang harus melengkapinya dalam putusan nanti.6
Lain halnya dengan Prof. Dr. Abdul Manan dalam bukunya Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama menegaskan bahwa dalam mempertahankan dalil gugatan di dalam persidangan tidak hanya sekedar menjawab atau membantah saja, tetapi kesemuanya itu haruslah didukung oleh dasar hukum yang kuat dalam mempertahankan dalil gugatan, dan ini sangat membantu hakim dalam upaya menemukan hukum (law making) dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya. Apabila dasar hukum sebagai dalil gugat sudah sudah diketahui maka dengan mudah mengklasifikasikan gugatan yang disusun itu sebagai gugatan yang termasuk dalam kategori apa. Misalnya sebuah perkara cerai gugat dapat diketahui penyebabnya apakah itu karena faktor perselisihan, salah satu pihak meninggalkan yang lainnya atau pelangaran terhadap ta’lik talak. Oleh karenanya dasar hukum harus diketahui lebih dulu ketika hendak mengajukan gugatan.7
Terlepas dari pendapat di atas, memang di dalam HIR dan RBg tidak disebutkan secara jelas bagaimana surat gugatan dibuat termasuk juga pencantuman dasar hukum dituliskan atau tidak. Karena selama ini surat gugatan dibuat sesuai selera masing-masing pembuatnya, namun sejauh ini di Pengadilan Agama Banjarnegara surat gugatan yang diajukan dibuat secara sistematis seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 8 RV. Oleh karena itu Mahkamah Agung RI dalam sebuah putusan tanggal 15 Maret 1972 Nomor 547 K/Sip/1972 menyatakan bahwa ketidakadaannya ketentuan tertentu mengenai isi gugatan di HIR dan RBg maka para pihak bebas dalam merumuskan surat gugatannya asalkan didalamnya memuat segala hal yang berhubungan dengan kejadian-kejadian materiil yang yang menjadi dasar gugatannya.8 Apabila Posita dalam surat gugatannya tidak jelas maka sesuai dengan Pasal 119 HR dan Pasal 143 RBg bahwa Ketua Pengadilan dapat memberikan petunjuk kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatannya.
Pada akhirnya penulis menyimpulkan bahwa penulisan dasar hukum (rechtelijke gronden) dalam surat gugatan boleh dicantumkan dan boleh tidak. Karena pada hakikatnya alasan hukum digunakan sebagai dasar tuntutan penggugat atau dasar yang digunakan hakim untuk meluluskan atau menolak tuntutan Penggugat. Dengan adanya ketentuan ini sebenarnya Penggugat tidak perlu khawatir kalau ia lupa atau salah menyebutkan pasal perundang-undangann karena nantinya akan dibetulkan oleh hakim yang berkewajiban menggunakan peraturan perundang-undangan dalam mempertimbangkan perkara yang berada di tangannya.9 Dari uraian tersebut di atas, pendapat mana yang akan diikuti sebenarnya tidaklah menjadi persoalan. Tetapi dalam perkembangan praktik dan kemajuan dalam pendidikan hukum cukup memberikan indikasi bahwa adanya kecenderungan untuk mengikuti salah satu pendapat tanda mengabaikan pendapat yang lainnya.
C. Bentuk Dasar Hukum dalam Fundamentum Petendi
Menurut Yahya Harahap, salah satu unsur dari Fundamentum Petendi adalah dasar hukum yang menegaskan dan menjelaskan hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat dan hubungan hukum antara Penggugat dengan objek gugatan. Hubungan hukum antara Penggugat dan Tergugat adalah hubungan hukum yang menyebabkan Penggugat dapat menggugat Tergugat. Sebagai contoh seorang perempuan menggugat cerai seorang laki-laki padahal antara keduanya tidak terikat perkawinan. Dalam hal ini gugatan dinyatakan tidak diterima karena antara perempuan dan laki-laki tersebut tidak memiliki hubungan hukum yang jelas. Sedangkan contoh dari hubungan hukum antara Penggugat dengan objek gugatannya adalah misalnya Penggugat adalah pemilik sah objek yang digugat dan dikuasai oleh Tergugat. Jika dalam persidangan nanti Penggugat terbukti bukan pemilik yang sah maka gugatan menjadi cacat, 10 maka dengan adanya suatu hubungan hukum yang jelas tersebut menjadi alasan bagi seseorang yang hendak mengajukan gugatan.
Adapun uraian hukum yang menjadi penghubung antara peristiwa hukum dan petitum adalah boleh untuk dicantumkan dan boleh tidak, karena dasar hukum ini bukan hanya sebagai alasan untuk mengajukan gugatan tetapi juga dalam hal menjawab atau membantah jawaban lawan. Alasan hukum (rechtelijke gronden) di sini bertujuan untuk dapat mengklasifikasikan gugatan yang disusun itu termasuk dalam kategori apa, apakah itu termasuk kategori perbuatan melawan hukum, wanprestasi, kewarisan atau gugatan lainnya. Dan juga membantu hakim dalam menemukan hukum dalam memutuskan perkara. Dasar hukum ini tidak berarti harus berupa pasal-pasal perundang-undangan saja yang menjadi dasar tuntutan, melainkan bentuknya dapat meliputi peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, ajaran/doktrin dan kebiasaan atau praktik pengadilan.11 Hal ini senada dengan pendapat Jeremias Lemek, S.H bahwa dasar hukum dapat berupa peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin, praktik pengadilan dan kebiasaan hukum yang diakui sebagai hukum.12
Menurut hemat penulis, dasar hubungan hukum adalah adanya hubungan hukum antara Penggugat dan Tergugat dan antara Penggugat dengan objek gugatan. Sedangkan dasar hukum yang dimaksud bukan hanya alasan yang mendasari dalil gugat dalam posita saja, tetapi dasar hukum yang mensinkronkan atau menghubungkan antara posita dan petitum. Posita yang dianggap terhindar dari cacat obscuur libel adalah surat gugatan yang ditulis dengan jelas serta memuat penjelasan dan penegasan dasar hukum yang menjadi dasar hubungan hukum.13
Adapun dasar hukum sebagai dalil gugat jika sudah diketahui dalam bentuk pasal perundang-undangan, yurisprudensi, ajaran/doktrin dan kebiasaan atau praktik pengadilan maka agar dituliskan pada positanya. Namun jika Penggugat tidak dapat menemukan atau lupa terhadap alasan yang menjadi dalil gugatnya maka gugatannya masih boleh diterima. Hal ini sesuai yang telah dituliskan pada sub bab sebelumnya yaitu Pasal 178 HIR yang berbunyi “Hakim karena jabatannya waktu bermusyawarat wajib mencukupkan segala alasan hukum; yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak”.
D.Kesimpulan
Urgensi penulisan dasar hukum pada hakikatnya boleh dicantumkan dan tidak karena terdapat dua teori dalam hal ini. Teori pertama menyebutkan bahwa ketidakadaannya dasar hukum dalam bentuk perundang-undangan, yurisprudensi, ajaran/doktrin dan kebiasaan atau praktik pengadilan dianggap cacat (obscuur libel). Sedangkan teori kedua menegaskan bahwa dasar hukum jika tidak dituliskan pada surat gugatan terhindar dari cacat karena melengkapi dasar hukum adalah tugas hakim yang nantinya digunakan dalam merumuskan putusannya. Selain itu untuk dapat merumuskan dasar hukum yang tepat dibutuhkan pengetahuan yang baik tentang hukum lantas bagaimana jika ada pihak yang ingin mengajukan gugatan dan ia awam akan hukum?. Oleh karenanya pencantuman dasar hukum bukanlah sebuah keharusan. Sama seperti jika ada seseorang yang menyebutkan dasar hukum berbentuk pasal perundang-undangan jika tidak sesuai dengan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung maka hakim bisa menyatakan bahwa gugatan tersebut ditolak. Atau ketika hakim sejak awal membaca surat gugatannya hakim menilai dasar hukumnya tidak sesuai maka hakim bisa menyatakan gugatan tersebut tidak diterima (Niet Onvankeliijk Verklaar).
Berbeda halnya dengan dasar hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat dan Penggugat dengan objek yang disengketakan, dimana pencantumannya sangat penting dan jika selama persidangan tidak terbukti adanya hubungan hukum anatara Penggugat dengan Tergugat atau antara Penggugat dengan objek gugatan maka hakim menyatakan gugatannya tidak dapat diterima.
E.Saran
Berdasarkan apa yang telah penulis uraikan merupakan hasil dari kajian literatur dan observasi, maka penulis memeiliki saran dalam hal ini yaitu ketika memeriksa surat gugatan khususnya dasar hukum yang berbentuk pasal perundang-undangan dan ternyata tidak sesuai dengan yang terbukti selama persidangan berlangsung, maka hakim memiliki wewenang untuk tidak menerima gugatan tersebut. Namun sebelumnya hakim dapat menasehati dan memberi masukan kepada Penggugat terhadap surat gugatannya atau memberikan kesempatan untuk memperbaiki dasar hukumnya. Sebagaimana tercantum dalam jiwa undang-undang Pokok Kehakiman UU No. 14 tahun 1970 Pasal 5 ayat 2 yang mengatakan bahwa dalam perkara, pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Daftar Pustaka
Arto Mukti. 2017. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Harahap Yahya. 2018. Hukum Acara Perdata. Jakarta : Sinar Grafika
Manan Abdul. 2016. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta : Prenadamedia Group
Nadjib, S.H., Unsur-Unsur Posita Gugatan Perceraian Dengan Alasan Perselisihan dan Pertengkaran. http://pa-purworejo.go.id/web/unsurunsur-posita-gugatan- perceraian-dengan-alasan-perselisihandan-pertengkaran/
Syukur Sarmin. 2018. Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, Surabaya: Jaudar Press


